Sunday 17 June 2018

Hari ini lihat post teman di whatsapp stories. Ceritanya ngasuh 3 keponakan yang sedang bermain baling-baling. Baling-baling ini didukung baterai yang jika dioperasikan membuatnya melayang. Sesekali akan turun dan hanya oerlu dorongan tangan untuk membuatnya naik lagi. Tiga bocah dalam WA stories berebut untuk mendorong baling-baling agar tetap ke atas. Yang membuatnya seru adalah baling-baling ini tak hanya bergerak secara vertikal tapi juga horizontal dengan arah tak tentu. Sehingga bocah-bocah ini pun berlarian ke sana kemari mencoba menebak arah turunnya baling baling. Setiap gerakan tentunya diikuti tetikan bahagia mereka. Sorakan menjadi semakin seru saat salah satu berhasil menebak dengan tepat posisi turunnya baling baling dan mendorongnya kembali ke awang-awang. Saat itu hidup mereka hidupnya penuh keseruan dan mereka terlihat sangat hidup. Rasanya seperti itulah bagaimana manusia bisa merasa hidup. Salah satu sumber hidup akan terasa seru, kita akan feel alive jika ada cukup tantangan untuk dihadapi, jika ada teman yang setia menemani menghadapi tantangan yang ada juga siap berteriak gembira bersama saat harus berlarian bergerak dalam menghadapi tandangan dan bersorak gembira bersama saat berhasil menghadapi tantangan lagi dan lagi. Lalu pada suatu saat jika tantangannya tak berubah dan mereka semakin mahir atau pun tidak dalam menghadapinya mereka akan bosan dan meninggalkan kegiatan itu. Lalu mencoba rehat sejenak untuk kemudian mencari tantnagan lain keseruan lain. Maka hakekatnya manusia butuh tantangan dan perbatuan tantangan dari waktu ke waktu untuk merasa terus hidup dan lebih hidup. Manusia mudah bosan. Bahkan saat tantangan ada di sana secara terus menerus, manusia tetap bosan dan ingin tantangan lain ataupun tantangan yang lebih. Saya rasa penting menjaga kehausan akan tantangan itu agar kita terus memperbaharui diri dan pada level tertentu meningkatkan kemampuan diri.

Thursday 19 April 2018

I think I finally realize and  I should remember that people are succesful by doing something that is meaningful for themselces regardless it is meaningful or not for other people, regardless it is beneficial or not for other people.

Reading news about Bill Cunningham, as a photographer seem he has done it his entire life and has dedicated his life as fashion photography. And as a photographer his work must be subjective. He shared something from his very personal lens of what is important or meaningful for him to be captured and shared. Although he might do it based on request but still he took the picture by himself, used his own hands, through his own eyes and his on decision of what he thought worth of a shot.

I can say photography is a very self centric work but still people really appreciate his work, he is treated special in big fashion shows. People trusting the best seat in front row of every fashion show on him, trusting that he will share something worth to see from the fashion show. People trust him upon something that is really based in his judgement.

But I think this is what make it interesting, people like Bill Cunningham is notable by doing something that matters for himself. As well as writer like J. K. Rolling, writing for years without letting people know about it, get the story rejected for years but keep writing. I believe it happens not because she believes that the book will be succesful, but simply as an act that is important for them.

Saturday 16 September 2017

Cikuray - Dengarkan Intuisimu

Dari 5 anggota team, tadinya aku hanya kenal Kak Rudi, namun sudah lumrah rasanya kita cepat merasa akrab dengan teman pendakian baru. Obrolan pun mengalir cepat antara aku, K. Rudi,  Lasti, Imel dan Henry.
Cikuray memang asyik. Treknya nanjak terus jadi elevasinya cepat. Sampai di basecamp kami disuguhi pemandangan tanah coklat yang basah karena hujan sebelumnya, hamparan hijau kebun teh, langit biru cerah dan awan putih bergelantungan. Semburat keceriaan yang cukup terik dan menghadirkan semangat.

Menuju Base Camp Cikuray via Pemancar

Masuk ke hutannya aku, Imel dan Henry lebih sering berjalan di depan meninggalkan Lasti dan Kak Rudi yang memang bertugas sebagai sweeper. Namun setiap kali jarak kami terasa agak jauh dan mereka berdua tak terlihat kami berhenti untuk menunggu sekaligus istirahat. Aku suka Cikuray, hutannya cukup lebat, anginnya juga sepoi-sepoi. Kadang-kadang kabut menyusul kami dari belakang lalu meninggalkan kami begitu saja. Maha Agung Alloh pencipta kedamaian ini.

Cek kabut magis Cikuray di sini:

Pohon, lumut dan kabut 😍

Waktu masih menunjukkan pukul 3 sore saat kami sampai di Pos 3. Suasana berkabut. Beberapa anggota tim sudah kelelahan sedangkan aku masih sangat bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. K. Rudi sebagai ketua tim memutuskan tim akan beristirahat selama 1 jam dan kemudian menimbang kembali apakah akan melanjutkan pendakian atau mendirikan tenda dan bermalam di situ.
Sejam hampir berlalu dan langitpun mulai mendung, K. Rudi pun memutuskan untuk buka tenda agar kami bisa dengan mudah berteduh saat hujan turun. Dan menilik kembali situasi di Jam 5.
Sebenarnya saya agak keberatan karena merasa perjalanan masih bisa dilanjutkan dan nantinya camp di Pos 6 atau Pos 7. Namun melihat anggota tim yg sudah kelelahan, aku pun setuju untuk mendirikan kemah dan stay lebih lama di Pos 3. Ternyata hujan benar-benar turun dengan derasnya diikuti gemuruh petir. Malam ini adalah malam yang sama saat beberapa Pendaki Prau tersambar petir di dekat puncak.  Hujan baru reda Pukul 10.30. Kak Lasti dengan penuh semangat menyiapkan makanan untuk tim. Aku sudah sangat lelah dan tak berniat untuk makan. Aku memilih bantu-sekedarnya saja dalam urusan perut ini dan lebih memilih stay di tenda dan bantu merapikan tenda lalu berangkat tidur setelah merengek ke Kak Rudi untuk di antar summit sebelum subuh.

Pagi itu, aku belajar lebih enak summit tanpa membawa beban carrier seperti yang kami lakukan di Pangrango. Perjalanan menjadi lebih ringan dan cepat. Summit menjadi lebih menyenangkan. Dalam perjalanan dari dan ke puncak pun kami banyak mendengar cerita dari pendaki lain yang nekat camp di pos 6 hingga puncak. Hujan deras dan angin berhembus kencang, bahkan ada yang hampir tersambar petir. Mereka yg nekat melanjutkan perjalanan setelah jam 3 harus rela basah kuyup kehujanan. Rain coat tidak membantu katanya.

Semburat jingga mentari menembus hutan di Gunung Cikuray
Perjalanan summit kami cukup cepat. Saat sampai di pos 7 dan area puncak para pe daki yang camp di atas sedang sibuk masak. Area itu dilingkupi aroma kopi, yang diseduh,  indomie rebus, telur goreng dan tawa renyah para pendaki yang bersenda gurau dengan teman-temannya. Puncak pun menawarkan langit yang cerah biru. Pemandangan hijau terhampar luas di depan kami. Awan bergerumul di beberapa titik bergerak perlahan mengikuti tiupan angin.



Di Cikuray aku belajar, alam selalu berbaik hati pada manusia. Saat iya memberikan tanda-tanda bahaya terimalah dengan lapang dada walaupun kau merasa akan kuat menghadapinya. Hutan belantara seperti Cikuray bukanlah milikmu. Kau tak punya kendali di situ. Saat menghadapi pilihan menantang seperti itu simpan rasa kuatmu dan pilihlah yang lebih memudahkanmu -seperti dirikan tenda dan nikmati obrolan sore bersama kawan pendakianmu.
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari atau dalam perjalanan lainnya. Saat hati memberi isyarat atau kondisi memaksamu untuk menunda pergerakan karena sesuatu yang tak dapat kamu kendalikan, cari alternatif yang aman jika memungkinkan. Jika tidak jalani dengan hati-hati dan sabar. Dengarkan intuisimu, jika ia mengisyaratkan berhenti, berhentilah, jika ia mengisyaratkan bahaya waspadalah dan atau minta pertolongan, jika ia bilang tak usah maka urungkan. Namun bukan berarti kita harus khawatir secara berlebihan. Persiapan yang matang, pengetahuan atas resiko dan tantangan adalah bekal yang penting agar kita bisa melangkah  lebih percaya diri dalam situasi apapun. So persiapkan diri, kenali medan dan dengarkan intuisimu.
Lagi-lagi bukan lautan awan, namun pelajaran .

Sunday 20 August 2017

Pangrango, Mengenal Batasan Fisik Ku.

Salah satu anugerah dari sebuah perjalanan jika kita mau membuka diri pada kawan baru dan kawan perjalanan baru adalah sebuah jaringan pertemanan yang mungkin akan membawamu pada perjalanan-perjalanan lainnya. Masih ingat Kak Galih, salah satu anggota pendaki yang menolongku di Gunung Lawu. Pertemuan itu berlanjut pada undangan untuk bergabung ke Kemcer Whatsapp group. Salah satu perjalananku dengan tim Kemcer ini adalah Pendakian Pangrango pada November 2016 lalu.

Aku, Kak Galih, Maretha dan Kak Chandra.
Melalui jalur Cibodas, Base Camp Kandang Badak kami lalui tanpa kesulitan berarti.
Jalur makadam yang mendominasi perjalanan dari base camp TNGGP Cibodas hingga Pos Panyancangan

Memasuki Hutan TNGGP, aku tersusupi keindahan yang sangat aku suka. Hutan ini sangat memukauku. Lebat, sejuk, cahaya matahari ada tapi sama sekali tidak mendominasi. Udaranya segar, aromanya khas. Sesuatu yang tak dapat ku lihat namun dengan sangat jelas bisa ku cium dan akan sering ku rindukan. Suasananya sunyi dari gemuruh suara buatan manusia. Obrolan dan candaan kami tersaingi oleh suara berisik hewan-hewan penghuni Gede. Mereka seperti tak peduli akan kehadiran kami. "INI RUMAHKU, KALIAN ADALAH PENDATANG, AKU AKAN MENGOCEH SESUKAKU" mungkin begitu runtuk mereka. Ah... aku terpesona.

Pohon-pohon besar yang banyak ditemui di TNGGP


Sayangnya perkiraan kami meleset. Mumgkin kami tetlalu menikmati suasana sehingga batu sampai di Kandang Badak pada 13.30 WIB. Satu jam terlambat dari rencana. Teman kami yang sudah pernah ke Puncak Pangrango sempat menasehati  agat kami tidak melanjutkan perjalanan ke puncak jika Pukul 1 kami belum siap jalan dari kandang Badak Ke Puncak. Namun saat itu keinginan kami sangat kuat untuk bisa berkemah di Lembah Mandalawangi - Lembah Cinta. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Puncak Pangrango pada Pukul 14.30.

Perjalanan dari kandang badak ke mandalawangi menyadarkanku bahwa lapar, gelap dan lelah adalah kombinasi yang akan memicu kegusaranku.
Perjalanan yang diperkirakan hanya 3 jam ternyata belum juga berakjir setelah 4 jam. Hari sudah mulai gelap, hujan mulai turun dengan ramainya, kami tak bisa berhenti dan membangun tenda dan memasak walaupun semua anggota sudah letih dan lapar karena tak ada tempat yang cukup besar untuk mendirikan tenda kami yg kap 4. Tanjakan-tanjakan 3D ku lalui dengan sisa-sisa tenaga. Nafas tersengal-sengal dan perut keroncongan. Disaat itulah saya merasa sangat beruntung berada dalam tim ini.
Ini pas turun, pas naiknya g kepikiran buat foto 😑

K. Chandra menjadi obor semangat- tanjakan 3D justru menyulut semangatnya. Menularkannya pada tim yang sudah kehabisan baterai semangat, terutama aku dan k. Galih. Tetha- ku temukan dia sebagai seorang yang sangat konsisten dalam keceriaannya  apapun situasi yang dihadapi. Stock adrenalinnya seperti tak habis-habis. Dengan sangat sabar dia menyemangatiku, menungguku yang kesulitan mengangkat badan dan keril dibahu di tanjakan-tanjakan 3D yg seperti tak habis-habis itu. Tetap tersenyum saat aku menanggapi kalimat semangatnya dengan wajah acuh tak acuhku. Setiap ingat momen ini, aku ingin peluk dia erat-erat sebagai tanda terima kasih.
K. Galih- sebut saja teman seperjuangan sebagai pendaki selower. Sebagai sweeper k. Galih sangat konsisten menjaga posisi di paling belakang. Aku dan dia 11-12 dalam hal mengatur nafas. Tapi sabarnya k. Galih tuh sekonsisten ke-unyuan-nya. Sambil atur nafas sambil waspada jagain kami yang di depannya. Salim Kakak ketua ter -nggemesin.
Satu jam sejak kami mulai mendaki jalur sulit di bawah guyuran hujan dan sepertinya belum akan habis. Tapi kami sepakat kami harus terus bergerak agar segera sampai di area camp impian kami.
Aku lelah, cemas dan menjadi semakin tak sabaran. Tetha beberapa kali kena semburan ketidaksabaranku. Tapi ia tak bergeming (#peluktetha).

#pelukerat #travelmate

Dalam keadaan mental dan fisik yang sudah kacau balau kami tetus berjalan berharap segera bertemu jalur landai lurus  yang kata pendaki yang kami temui dijalur, itu merupakan pertanda kami sudah dekat dengan puncak.
Akhirnya pada pukul 19.30 kami sampai di jalur landai itu dan kami pun segera tiba di  Puncak Pangrango. Bertukar sedikit cerita dengan pendaki yang camp di Puncak , kami lalu menuju Lembah Mandalawangi. Gelap, dingin, sunyi dan cenderung mencekam. Tim cowok buru-buru mendirikan tenda, aku dan Tetha masak air dan makanan sekedarnya. Kami terlalu lelah dan tak sanggup rasanya menantnag dingin Mandalawangi malam itu. Kami pun memilih tidur.
Melangkahkan kaki keluar dari tenda di pagi itu adalah sebuah pengalaman magis. Aku tergugu dipeluk oleh syahdunya Lembah Mandalawangi.

Udara dingin dengan angin yang menyapa lembut. Langit biru cerah hampir tak terhalang awan. Bukit-bukit hijau di sekeliling Mandalawangi. Hamparan Edelweiss yang menjadi primadona dalam kumpulan keindahan ini dilengkapi wajah-wajah berseri rekan pendakianku. Aku terhipnotis. Seperti ada rindu yang diselipkan direlung hatiku oleh Mandalawangi. Rasa rindu yang sudah muncul walaupun aku bahkan belum betanjak dari sana. Mungkin ini yang dinamakan mendapatkan "keistimewaan" atau privilege. Saat kamu tahu kamu mendapatkan privilege, kamu tahu itu tak bisa kamu miliki selamanya. Karena privilege hanya berlaku pada konteks tertentu. Dan kali ini konteks nya adalah Keramahan Mandalawangi di suatu pagi bersama rekan-rekan yang luar biasa istimewa dihatimu. Aku seketika merasa sendu namun juga bahagia atas moment istimewa itu. Menulis pengalaman inipun seperti menyulut api pada bara rindu akan Lembah Mandalawangi.

Sesaat sebelum meninggalkan Lembah Mandalawangi. Berusaha menyimpan sebanyak-banyaknya memori  tentang kesyahduannya dalam ingatan

Di Pangrango aku belajar memahami batasan fisik dan emosiku dan belajar dari timku tentang bagaimana hal itu tak seharusnya melemahkan fisik dan jiwa kita sepenuhnya. Saat itu aku masih kalah. Namun semoga diperjalanan berikutnya aku menjadi lebih bijak dan lebih kuat secara mental maupun fisik. Dalam kehidupan sehari-hari pun seringkali kita merasa lelah dan terombang-ambing emosi. Karena beban atau masalah yang dihadapi. Namun satu yang pasti, kita tidak boleh berhenti dan yang lebih penting lagi kita tidak boleh membiarkan emosi menguasai kita dan membuat orang-orang yang sama-sama berjuang bersama kita menjadi tidak nyaman. Mari selalu mengingat bahwa perjuangan ini dimulai bersama, dengan tujuan yang sama dan akan dicapai bersama dengan tangan yang masih saling menggenggam untuk menguatkan satu sama lain.  Terima kasih Tim Kalajengking Hitam (nama group yang kami coretkan secara asal pada form registrasi).

Tim Kalajengking Hitam (baca: Kemping Ceria) di sebuah pagi di Lembah Mandalawangi

Gambaran jalur dari Kandang Badak ke puncak

Penanda Puncak Pangrango

Istirahat sejenak dalam bingkai hutan lebat yang sejuk


Thursday 17 August 2017

Melihat gulungan awan di Papandayan akhir minggu ini seketika memberiku jawaban mengapa Lautan Awan yang ku cari baru bisa ku temui di Merapi. Sungguh Rencana Tuhan Itu Indah dan Hadir di saat Terbaik.

Semburat mentari dan kumpulan awan di Papandayan. 16/07/17

Tuhan mau aku mendapatkan hikmah yang lain dari pendakian-pendakian sebelum Merapi agar iya menjadi hamparan awan pertama dan menggulung kan kenangan manis tak terperi.

Tulisan ini akan menjadi seri napak tilas beberapa pendakian yang telah ku lakukan. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.

Napak tilas #1
Lawu -  Ego, tolong dan menunggu.

Tuhan tahu bukan lautan awan yang ku butuhkan namun saat itu sebuah pengingat tentang betapa manusia adalah mahluk yang egois namun manusia juga selalu  punya pilihan untuk menjadi sebaliknya- untuk menjadi manusia dengan kemanusiaan, untuk berhenti mencoba melawan waktu dan lebih memilih untuk berdamai karena seringkali manusia perlu itu kadang bukan untuk dirinya namun demi kawan seperjuangannya.

Sebagai seorang perantauan dan cewek yang sudah biasa hidup sendiri di kota aku selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa aku harus mandiri, jangan menyusahkan orang lain dan jangan merepotkan (baca: minta tolong) orang lain jika tidak benar-benar perlu. Alhamdulillah Alloh memberkahiku dengan kemudahan dalam keseharianku sehingga  boleh dibilang minta tolong menjadi sesuatu yang mulai asing buatku. Kemana-manapun aku lebih sering sendiri. Aku suka keadaan di mana aku bisa merencanakan perjalananku sendiri dan  aku tak perlu menunggu  dan atau mengambil keputusan yang melibatkan pertimbangan orang lain. Semua ku putuskan sendiri atas dasar keperluan dan keegoisanku.
Di Lawu, baru menginjakkan kaki di Jogja saja aku sudah merepotkan K. Pras. Orang pertama yang mewujudkan kata setujunya atas permohonanku untuk mengajakku naik gunung menjadi sebuah aksi nyata. Empat hari libur, ia yakin kami bisa menempuh pendakian Gunung Lawu lintas jalur Cemoro Sewu - Cemoro Kandang.

Gerbang Jalur Cemoro Sewu
*not belong to writer

Kami memulai pendakian pukul 20. 00 bersama 2 pendaki lain yang kebetulan registrasinya bersamaan dengan kami. Aku terkagum-kagum pada k. Pras dan 2 pendaki itu yang mau menungguiku walaupun jalanku seperti keong dan berhenti setiap 5 langkah untuk mengatur nafas. Akhirnya stlh 4 jam kami bisa sampai di Pos 2. Dengan rentang waktu yang sama dua pendaki itu sudah bisa sampai puncak. Namun mereka dengan sabar menemani setiap langkah ku yang tertatih.

Perjalanan dari Pos 2 ke Puncak lebih lama lagi. Meninggalkan Pos 2 Pukul 10.00 sampai di Puncak Pukul 18.30. Kalau pakai waktu tempuh normal sudah bisa tektok alias naik turun. Kebayang kan betapa lambatnya pace- ku, berapa banyak aku berhenti dan betapa sabarnya k. Pras menemaniku selama perjalanan ke Puncak. Duh tidak terbayang kalau aku yang ada di posisi k. Pras. Pasti aku sudah ngegerundel.

*not belong to writer


Tapi memang Alloh mentakdirkan aku belajar tentang ego, tolong dan menunggu  di Lawu.

Summit pertama di pendakian pertamaku. Khusus saat summit ini langit cerah biru membentangkan pemandangan di sekeliling Gunung Lawu

Kami mulai meninggalkan area camp dekat puncak Pukul 09.30. Dalam perjalanan turun dari puncak ke Pos 5 kaki travelmate ku terkilir. Aku tak punya knowledge sama sekali tentang pertolongan pertama sehingga tak bisa menolong. Setelah istirahat sebentar kami lalu melanjutkan perjalanan ke Warung Mbok Yem. Di sana kami berhenti untuk mengistirahatkan kakinya dan mengurutnya dengan teknik seadanya. Perjalanan pun harus ditunda hingga 1.5 jam.

Warung Mbok Yem. Banyak pendaki datang untuk sekedar ngopi atau nge-teh. Banyak juga yang camp di depan warung dengan alasan mengurangi bawaan logistik.


Di sana aku bertemu mbok Yem (wanita legendaris yang hidup di dekat puncak Lawu. Awet muda dan menyediakan supply makanan bagi para pendaki melalui warungnya). Di warung mbok Yem, nikmatnya segelas teh panas akan sangat sulit ditandingi oleh Chinese Tea restoran mewah. Segelas teh panasku kunikmati sambil duduk di pinggir lembah  yang membentang di depan rumah Mbok Yem. Pagi itu syahdu. Langit agak mendung, kabut bergerak menyelimuti area lembah. Kadang ia hilang menyibakkan kombinasi lembah yang hijau dan hamparan hutan mati yang gersang namun tenang. Kadang ia menguasai lembah dan menyisakan kesenduan yang membuat teh panasku semakin diinginkan.
Kopi warung Mbok Yem beserta pemandangan kabut yang sesukanya naik dan turun

Perjalanan dilanjutkan dengan keadaan kaki hikingmate-ku yang belum juga membaik. Sedang aku tak cukup kuat untuk membawa 2 keril, hikingmate- ku harus terus berjalan tertatih dengan beban berat dipunggung.
Menuju Pos 3 kami kehabisan air dan tak bisa menemukan warung seperti di jalur Cemoro Sewu yang ada di setiap pos. Kami pun terpaksa meminta-minta air pada para pendaki yang lewat saat kami kehausan. Di sini aku belajar betapa manusia tak bisa hidup sendiri. Akan ada masa di mana kita akan membutuhkan bantuan orang lain dan kita harus cukup rendah hati dan berlapang dada untuk meminta bantuan sesama.
Rintik hujan mulai menemani sejak dari Pos 3, namun kami memilih untuk terus berjalan. Dengan keadaan kaki hikingmate-ku yang semakin parah, ia tidak bisa berjalan cepat dan akupun harus mengikuti pace-nya. Kami juga tak bisa mengambil jalur yang terjal karena akan semakin menyiksa untuknya. Kami pun harus memilih jalur landai yang memutar jauh sehingga semakin memperlambat gerak kami.

Langit mendung di jalur Cemoro Kandang

Dengan hanya berbekal biskuit kami terus berjalan dan baru sampai di Pos 2 sekitar jam 16.30. Di sana kami bertemu group hiker yang akan naik. Kami nimbrung untuk beristirahat di sana dan tentunya meminta belas kasih mereka untuk bisa berbagi minum dengan kami. Aku yang berharap hanya mendapatkan beberapa teguk saja tercengang karena mereka membiarkan kami minum dari sebuah botol cadangan air mereka dan memberikan 1 botol 375ml full kepada kami. Sebagai pendaki yang baru memulai perjalanan dan dalam group berisi 8 orang perjalanan mereka masih sangat jauh dari sumber air di pos 5. Tapi mereka justru memaksa kami untuk menerimanya. Aku pun berpikir, kalau saat itu keadaan kami ditukar apakah aku akan sudah sampai ke pemahaman mereka tentang berbagi. Aku malu tentang diriku sendiri.
Pos 2 ke Pos 1 kami semakin tertatih. Semakin sulit bertemu jalur landai. Jalur didominasi selokan kecil yang becek karena hujan dan dengan cekungan di tengahnya sehingga kami harus pilih-pilih saat memijakkan kaki. Tenaga ku sudah terkuras dan emosiku mulai tak stabil. Dalam diam rasa khawatirku tumbuh. Aku terus berdoa semoga perjalanan ini segera berakhir. Namun sepertinya jalan masih sangat panjang. Kami baru bisa mencapai Pos 1 sekitar pukul 18.00 saat adzan magrib menjelang.
Lelah, lapar, dan rasa sakit di kakiku yang mulai lecet mensuplai makanan bagi rasa khawatir yang sedang tumbuh dengan asyiknya di dada. Aku terus menyakinkan diriku untuk menghadapi situasi ini dengan kesabaran. Ku hadirkan gambaran kesabaran hikingmate- ku saat penjalanan naik. Yang tak pernah komplain tentang betapa lambatnya aku, memaklumi aku yang ngos-ngosan sepanjang waktu dan segala sikap menyebalkan lainnya. Kali ini giliranku untuk menemaninya karena perjalanan pulang ini adalah perjuangannya. Aku pun belajar tentang betapa menentramkannya menunggu dengan keikhlasan karena kita tahu setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Dan kita cukup beruntung karena kita yang terpilih untuk berada di sampingnya, menemaninya berjuang.

Melanjutkan perjalanan seusai magrib kami mendapatkan teman perjalanan baru. Seorang pendaki dari Kudus yang urung mendaki karena ternyata maagnya kambuh. Perjalanan menjadi tak sesepi tadi. Namun kondisi jalur yang basah karena hujan dan banyaknya jalur anak tangga membuat  kaki hikingmateku semakin parah. Ia jatuh terduduk beberapa kali hingga akhirnya di tengah hutan Cemoro Kandang, antara waktu Magrib dan Isya yang cukup mencekam kami berada dititik terbawah kami. Kami terancam tak bisa menlanjutkan perjalanan karena temanku sudah sangat sulit berjalan. Di saat itulah 3 orang pendaki yang turun bertemu dengan kami yang memblokir jalur.  Mereka berhenti dan menanyakan situasi kami. Mereka langsung berinisiatif untuk mengecek keadaan hikingmate-ku dan mengeluarkan krim urut untuk bantu memijat kaki hikingmate-ku yang terkilir. Salah satu dari mereka juga menawarkan untuk membawakan carrier hikingmateku agar dia tak perlu jalan dengan membawa beban. Di sana aku kembali terpana oleh kuasa Alloh dan kebaikan hati manusia.
Disaat paling terpuruk kami di sanalah Alloh menghadirkan bantuan dari arah yang tak terduga-duga bukan hanya untuk kaki hikingmateku tapi juga untuk meringankan beban perjuangannya. Tiga orang pahlawan itu adalah Kak Galih, Mas Ricky dan Mas Raffy. Dari Kak Galih juga kemudian kesempatanku untuk mendaki gunung-gunung yang lain muncul. Ia mengundangku untuk gabung di group whatsapp dia dan teman-teman traveling-nya. Di sanalah ku temukan traveling mates baru dan beberapa di antaranya telah tumbuh menjadi hikingmate terbaik dalam pendakian-pendakianku.

Bukan gulungan awan dan hijaunya hutan Lawu, namun kerendahan hati dan kesabaran adalah hadiah yang ditunjukkan Lawu padaku saat itu. Hal berharga yang menjadi bekalku di perjalanan-perjalanan selanjutnya.

Bersambung ke Napak Tilas #2

Sunday 18 June 2017


Saya adalah newbie hiker. Baru Mei tahun 2015 mendapatkan kesempatan untuk naik gunung karena kebaikan kakak angkatan saya saat kuliah yang mau menemani saya mendaki Gunung Lawu untuk pertama kalinya.

Terus terang saya mulai mendaki karena penasaran dengan bagaimana mendaki telah mengubah cara pandang  terhadap alam dan hidup pendaki-pendaki yang saya kenal. Di samping itu tentu saja karena saya ngiler melihat foto-foto para pendaki yang sedang muncak. Berdiri di puncak gunung dan disuguhi hamparan awan putih yang bergulung-gulung dia bawah kaki. Belum lagi foto-foto sunrise yang breathtaking. Saya sangat penasaran akan sensasinya jika mengalaminya langsung. 
Ngomong-ngomong soal sensasi di puncak gunung. Aku akan berbagi sedikit tentang 3 puncak gunung yang telah ku daki

1. Puncak Lawu- Puncak Hargo Dumilah 3265 mdpl. Mentari sudah timbul di ufuk timur saat aku keluar dari tenda. Warna ungu, jingga, hitam, putih, kuning berbaur menciptakan semburat yang indah. Setelah sedikit peregangan dan melakukan ritual pagi, aku paksa teman mendakiku yang masih malas-malasan di tenda untuk keluar dan bernagkat ke puncak. Ternyata jaraknya dekat sekali. Hanya 1 menit jalan kaki . 
Saat sampai di puncak matahari perlahan naik. Aku sangat beruntung karena mendapat kesempatan untuk melihat bayangan segitiga Gunung Lawu di sisi barat gunung. Bayangan yang hanya bisa dinikmati dalam beberapa detik. 




Alhamdulillah, langit cerah pagi itu. Namun tak ada gumpalan awan disana. Langit Lawu terlalu bersih. Terlalu biru. Angin bertiup kencang namun sangat sejuk bahkan cenderung dingin.  Sedikit kecewa karena tak ada adegan foto di atas awan. Tapi sensasinya luar biasa. Menjadi bagian dari keindahan yang masif seperti itu aku tiba-tiba merasa kecil dan merasa kurang bersyukur atas alam yang dihamparkan Tuhan. 




2. Puncak Rajabasa
Rajabasa adalah gunung yang berada disekitar pesisir tenggara Lampung. Tipikal gunung yang berada didekat pantai dan tidak terlalu tinggi -1281 mdpl, udaranya tidak terlalu dingin namun berlimpah angin.  Angin kencang terus menyerang tenda kami sejak malam. Sleeping system saya berupa baju dan celana panjang, jaket polar, sleeping bag dan sleeping pad klymit tiba-tiba terasa berlebihan. 


Kira-kira pukul 5.00 pagi saya keluar dari tenda karena rasanya sudah sangat cukup tidur dan tak ingin melewatkan moment sunrise. Setelah sholat subuh saya fokus mengamati sekitar. Angin terus berhembus kencang namun tidak membawa hawa dingin. Cuaca agak mendung di sebelah timur sehingga sinar matahari yang mulai muncul tidak bisa menembus gumpalan awan kelabu di depan kami. Hanya sedikit semburata jingga yang menjadi penanda di sanalah matahari berada. Lagi-lagi saya tidak bisa menikmati romantisme ngopi di atas awan.



Namun lain ceritanya dengan sisi barat daya Gunung Rajabasa. Laut menghampar luas. Di pinggirnya terlihat kelap- kelip lampu dari perkampungan penduduk di bawah kami. Garis pantai perlahan terlihat jelas dan menyajikan sensasi tersendiri karena saya dapat menikmati 2 lanskap favorit saya sekaligus - laut dan gunung. 


3. Puncak Gede 2958 mdpl - Happy banget sama ketua pendakian kali ini. Pukul 04.30 kami sudah dibangunkan karena sudah dijadwalkan untuk sunrise catching. Dari pendakian sebelumnya saya sudah belajar untuk tak banyak berharap akan langit yang cerah atau berdiri di atas kumpulan awan. Saya memustuskan untuk summit karena ingin menginjakkan kaki di Puncak Gede. 

Memulai perjalanan summit Pukul 5.20 ternyata udara masih cukup dingin. Kami semua memakai warm system lengkap dan tak lupa headlamp untuk penerang jalur karena hari masih gelap. Jarang berada diketinggian sekitar 3000mdpl bikin nafasku dan beberapa teman pendakian lainnya engap-engapan. Alhasil kita sering break untuk atur nafas. 

Di tengah perjalanan ternyata matahari sudah mulai terbit. Kami terpaksa menikmatinya dengan mencuri pandang dari sela-sela pohon yang sudah mulai jarang karena sudah dekat puncak. 
Akhirnya setelah 40 menit kami sampai di puncak dan benar saja, langit mendung pagi itu. Kami tidak bisa menemukan semburat jingga atau pun mentari pagi yang mulai menguning. Namun sudah sampai di Puncak Gede saja sudah memenuhi dadaku dengan keharuan- finally another summit with beloved hikingmates. 
Kaharuan lain memenuhi dada, memandang Gunung Pangrango dari Puncak Gede terasa sangat nostalgic. Teringat perjuangan saat mendaki Pangrango beberapa bulan sebelumnya. Dari Kandang Badak ke Puncak menjadi jalur terberat yang pernah ku daki waktu itu. Salah perkiraan waktu, kami terpaksa harus terus melaju walaupun hari sudah petang. Tak ada tempat camp di jalur.  Dalam keadaan lapar, lelah dan diguyur hujan kami mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk menghadapi jalur 3D yang tak habis-habis. Keadaan itu sangat menguras emosi, saya tahu benar saat itu saya sangat gusar. Namun saya sangat beruntung karena hiking mates saya waktu itu sangat pengertian dan sabar menghadapi saya yang sudah sangat cranky. Pukul 7.30 kami baru sampai di puncak dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Mandalawangi untuk camp. 





Itulah mengapa memandang Pangrango dari Gede menjadi sangat nostalgic buat saya saat itu. Saya dan hiking mates saya (yang juga hiking mate di Pangrango) tiba-tiba excited untuk lebih fokus memandangi Pangrango. Tersenyum manis pada kenangan yang telah kami lalui di sana dan melupakan kekecewaan karena mendung yang menggulung di langit Gede.  
Saat itu Pangrango terlihat sangat gagah. Ada suatu kengerian yang sulit dijelaskan di sana dan aku bersyukur Pangrango sudah sangat baik padaku saat itu. 



Gerimis sempat mampir di Puncak Gede. Namun kami urung turun karena langit mulai cerah saat kami bersiap turun. Di sebelah kiri Puncak Gede, awan putih dan langit biru mulai terhampar. Mentari pun mulai menunjukkan teriknya di timur sana. Saya kembali dihadapkan pada keindahan masif yang membuat saya merasa sangat kecil dihadapan hamparan keindahan ciptaan Tuhan ini. Tiba- tiba semua ini membawa saya pada kesadaran bahwa Tuhan Maha Baik karena telah menciptakan kemewahan gunung - gunung yang untuk menikmatinya kamu tidak harus jadi milyader. Yang harus kamu miliki adalah tubuh yang sehat untuk bisa mendaki dan termasuk sepasang mata untuk menikmati kemewahan  itu. Dan Tuhan telah memberikannya padamu sejak kamu lahir. Yes all you need to enjoy those luxurious beauty is already there since you were born. Gede terima kasih telah mengizinkan kami menginjakkan kamki di puncakmu untuk melihat keindahan yang mewah ini. 

Puncak-puncak gunung yang kudaki terus menghadirkan sensasi-sensasi yang khas. Tak melulu melalui gumpalan awan putih dan langit yang indah. Kadang melalui perjuangan untuk mendakinya, cerita yang dibagi  oleh dan bersama teman-teman pendakian, maupun beraneka lanskap menakjubkan  yang rasanya terlalu sederhana jika dikerucutkan menjadi gumpalan awan dan langit biru. 
Lalu biarlah aku menasehati diriku sendiri terkait ini - *Saat kau memutuskan untuk mendaki lagi, biarkan alam memutuskan dengan cara apa ia akan menyapamu kali ini*

Saturday 20 May 2017



1
Tak usah kau tunggu kata-kata indah
Aku itu sedang berdarah, lemah, memilih menyerah pada gundah
Aku rasa hatiku patah

2
Aaah kau, sok kalah pada rasa yang selalu serakah!!!
Berhentilah menjalarkan gundah
Berpura-pura mengerti arti kata menyerah
Dan jangan bodoh
Kau tahu - Hati itu darah... iya tak patah

1
Sialan... aku ini sedang sedih
Hiburlah dengan sedikit welas asih
Bukannya menghunus-hunuskan logika
Pada rasa yang sekarat kehilangan asa




2
Lalu apa??  Kau mau mengistirahatkan logika
Membiarkan iya mati suri oleh asa yg memang sudah tak lagi di sana
Namun sampai kapan? Kau tahu hidup terus berjalan
Alam terus menyajikan keindahan-keindahan

1
Aaaah aku memang masih berduka
Namun Logika ......tetaplah di sana
Bantu aku melepaskan rasa yang tinggal asa
Bantu aku mencabutnya dari akar jiwa
Agar rasa baru dapat menerpa dan menggantikan asa usang yang melegenda


*pictures are not belong to me