Sunday 17 June 2018
Thursday 19 April 2018
I think I finally realize and I should remember that people are succesful by doing something that is meaningful for themselces regardless it is meaningful or not for other people, regardless it is beneficial or not for other people.
Reading news about Bill Cunningham, as a photographer seem he has done it his entire life and has dedicated his life as fashion photography. And as a photographer his work must be subjective. He shared something from his very personal lens of what is important or meaningful for him to be captured and shared. Although he might do it based on request but still he took the picture by himself, used his own hands, through his own eyes and his on decision of what he thought worth of a shot.
I can say photography is a very self centric work but still people really appreciate his work, he is treated special in big fashion shows. People trusting the best seat in front row of every fashion show on him, trusting that he will share something worth to see from the fashion show. People trust him upon something that is really based in his judgement.
But I think this is what make it interesting, people like Bill Cunningham is notable by doing something that matters for himself. As well as writer like J. K. Rolling, writing for years without letting people know about it, get the story rejected for years but keep writing. I believe it happens not because she believes that the book will be succesful, but simply as an act that is important for them.
Saturday 16 September 2017
Menuju Base Camp Cikuray via Pemancar |
Pohon, lumut dan kabut 😍 |
Sejam hampir berlalu dan langitpun mulai mendung, K. Rudi pun memutuskan untuk buka tenda agar kami bisa dengan mudah berteduh saat hujan turun. Dan menilik kembali situasi di Jam 5.
Sebenarnya saya agak keberatan karena merasa perjalanan masih bisa dilanjutkan dan nantinya camp di Pos 6 atau Pos 7. Namun melihat anggota tim yg sudah kelelahan, aku pun setuju untuk mendirikan kemah dan stay lebih lama di Pos 3. Ternyata hujan benar-benar turun dengan derasnya diikuti gemuruh petir. Malam ini adalah malam yang sama saat beberapa Pendaki Prau tersambar petir di dekat puncak. Hujan baru reda Pukul 10.30. Kak Lasti dengan penuh semangat menyiapkan makanan untuk tim. Aku sudah sangat lelah dan tak berniat untuk makan. Aku memilih bantu-sekedarnya saja dalam urusan perut ini dan lebih memilih stay di tenda dan bantu merapikan tenda lalu berangkat tidur setelah merengek ke Kak Rudi untuk di antar summit sebelum subuh.
Pagi itu, aku belajar lebih enak summit tanpa membawa beban carrier seperti yang kami lakukan di Pangrango. Perjalanan menjadi lebih ringan dan cepat. Summit menjadi lebih menyenangkan. Dalam perjalanan dari dan ke puncak pun kami banyak mendengar cerita dari pendaki lain yang nekat camp di pos 6 hingga puncak. Hujan deras dan angin berhembus kencang, bahkan ada yang hampir tersambar petir. Mereka yg nekat melanjutkan perjalanan setelah jam 3 harus rela basah kuyup kehujanan. Rain coat tidak membantu katanya.
Semburat jingga mentari menembus hutan di Gunung Cikuray |
Di Cikuray aku belajar, alam selalu berbaik hati pada manusia. Saat iya memberikan tanda-tanda bahaya terimalah dengan lapang dada walaupun kau merasa akan kuat menghadapinya. Hutan belantara seperti Cikuray bukanlah milikmu. Kau tak punya kendali di situ. Saat menghadapi pilihan menantang seperti itu simpan rasa kuatmu dan pilihlah yang lebih memudahkanmu -seperti dirikan tenda dan nikmati obrolan sore bersama kawan pendakianmu.
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari atau dalam perjalanan lainnya. Saat hati memberi isyarat atau kondisi memaksamu untuk menunda pergerakan karena sesuatu yang tak dapat kamu kendalikan, cari alternatif yang aman jika memungkinkan. Jika tidak jalani dengan hati-hati dan sabar. Dengarkan intuisimu, jika ia mengisyaratkan berhenti, berhentilah, jika ia mengisyaratkan bahaya waspadalah dan atau minta pertolongan, jika ia bilang tak usah maka urungkan. Namun bukan berarti kita harus khawatir secara berlebihan. Persiapan yang matang, pengetahuan atas resiko dan tantangan adalah bekal yang penting agar kita bisa melangkah lebih percaya diri dalam situasi apapun. So persiapkan diri, kenali medan dan dengarkan intuisimu.
Lagi-lagi bukan lautan awan, namun pelajaran .
Sunday 20 August 2017
Aku, Kak Galih, Maretha dan Kak Chandra.
Jalur makadam yang mendominasi perjalanan dari base camp TNGGP Cibodas hingga Pos Panyancangan |
Memasuki Hutan TNGGP, aku tersusupi keindahan yang sangat aku suka. Hutan ini sangat memukauku. Lebat, sejuk, cahaya matahari ada tapi sama sekali tidak mendominasi. Udaranya segar, aromanya khas. Sesuatu yang tak dapat ku lihat namun dengan sangat jelas bisa ku cium dan akan sering ku rindukan. Suasananya sunyi dari gemuruh suara buatan manusia. Obrolan dan candaan kami tersaingi oleh suara berisik hewan-hewan penghuni Gede. Mereka seperti tak peduli akan kehadiran kami. "INI RUMAHKU, KALIAN ADALAH PENDATANG, AKU AKAN MENGOCEH SESUKAKU" mungkin begitu runtuk mereka. Ah... aku terpesona.
Pohon-pohon besar yang banyak ditemui di TNGGP |
Perjalanan yang diperkirakan hanya 3 jam ternyata belum juga berakjir setelah 4 jam. Hari sudah mulai gelap, hujan mulai turun dengan ramainya, kami tak bisa berhenti dan membangun tenda dan memasak walaupun semua anggota sudah letih dan lapar karena tak ada tempat yang cukup besar untuk mendirikan tenda kami yg kap 4. Tanjakan-tanjakan 3D ku lalui dengan sisa-sisa tenaga. Nafas tersengal-sengal dan perut keroncongan. Disaat itulah saya merasa sangat beruntung berada dalam tim ini.
Ini pas turun, pas naiknya g kepikiran buat foto 😑 |
K. Chandra menjadi obor semangat- tanjakan 3D justru menyulut semangatnya. Menularkannya pada tim yang sudah kehabisan baterai semangat, terutama aku dan k. Galih. Tetha- ku temukan dia sebagai seorang yang sangat konsisten dalam keceriaannya apapun situasi yang dihadapi. Stock adrenalinnya seperti tak habis-habis. Dengan sangat sabar dia menyemangatiku, menungguku yang kesulitan mengangkat badan dan keril dibahu di tanjakan-tanjakan 3D yg seperti tak habis-habis itu. Tetap tersenyum saat aku menanggapi kalimat semangatnya dengan wajah acuh tak acuhku. Setiap ingat momen ini, aku ingin peluk dia erat-erat sebagai tanda terima kasih.
K. Galih- sebut saja teman seperjuangan sebagai pendaki selower. Sebagai sweeper k. Galih sangat konsisten menjaga posisi di paling belakang. Aku dan dia 11-12 dalam hal mengatur nafas. Tapi sabarnya k. Galih tuh sekonsisten ke-unyuan-nya. Sambil atur nafas sambil waspada jagain kami yang di depannya. Salim Kakak ketua ter -nggemesin.
Aku lelah, cemas dan menjadi semakin tak sabaran. Tetha beberapa kali kena semburan ketidaksabaranku. Tapi ia tak bergeming (#peluktetha).
#pelukerat #travelmate |
Dalam keadaan mental dan fisik yang sudah kacau balau kami tetus berjalan berharap segera bertemu jalur landai lurus yang kata pendaki yang kami temui dijalur, itu merupakan pertanda kami sudah dekat dengan puncak.
Akhirnya pada pukul 19.30 kami sampai di jalur landai itu dan kami pun segera tiba di Puncak Pangrango. Bertukar sedikit cerita dengan pendaki yang camp di Puncak , kami lalu menuju Lembah Mandalawangi. Gelap, dingin, sunyi dan cenderung mencekam. Tim cowok buru-buru mendirikan tenda, aku dan Tetha masak air dan makanan sekedarnya. Kami terlalu lelah dan tak sanggup rasanya menantnag dingin Mandalawangi malam itu. Kami pun memilih tidur.
Udara dingin dengan angin yang menyapa lembut. Langit biru cerah hampir tak terhalang awan. Bukit-bukit hijau di sekeliling Mandalawangi. Hamparan Edelweiss yang menjadi primadona dalam kumpulan keindahan ini dilengkapi wajah-wajah berseri rekan pendakianku. Aku terhipnotis. Seperti ada rindu yang diselipkan direlung hatiku oleh Mandalawangi. Rasa rindu yang sudah muncul walaupun aku bahkan belum betanjak dari sana. Mungkin ini yang dinamakan mendapatkan "keistimewaan" atau privilege. Saat kamu tahu kamu mendapatkan privilege, kamu tahu itu tak bisa kamu miliki selamanya. Karena privilege hanya berlaku pada konteks tertentu. Dan kali ini konteks nya adalah Keramahan Mandalawangi di suatu pagi bersama rekan-rekan yang luar biasa istimewa dihatimu. Aku seketika merasa sendu namun juga bahagia atas moment istimewa itu. Menulis pengalaman inipun seperti menyulut api pada bara rindu akan Lembah Mandalawangi.
Sesaat sebelum meninggalkan Lembah Mandalawangi. Berusaha menyimpan sebanyak-banyaknya memori tentang kesyahduannya dalam ingatan |
Tim Kalajengking Hitam (baca: Kemping Ceria) di sebuah pagi di Lembah Mandalawangi |
Gambaran jalur dari Kandang Badak ke puncak |
Penanda Puncak Pangrango |
Istirahat sejenak dalam bingkai hutan lebat yang sejuk |
Thursday 17 August 2017
Semburat mentari dan kumpulan awan di Papandayan. 16/07/17 |
Tuhan mau aku mendapatkan hikmah yang lain dari pendakian-pendakian sebelum Merapi agar iya menjadi hamparan awan pertama dan menggulung kan kenangan manis tak terperi.
Tulisan ini akan menjadi seri napak tilas beberapa pendakian yang telah ku lakukan. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.
Napak tilas #1
Lawu - Ego, tolong dan menunggu.
Tuhan tahu bukan lautan awan yang ku butuhkan namun saat itu sebuah pengingat tentang betapa manusia adalah mahluk yang egois namun manusia juga selalu punya pilihan untuk menjadi sebaliknya- untuk menjadi manusia dengan kemanusiaan, untuk berhenti mencoba melawan waktu dan lebih memilih untuk berdamai karena seringkali manusia perlu itu kadang bukan untuk dirinya namun demi kawan seperjuangannya.
Sebagai seorang perantauan dan cewek yang sudah biasa hidup sendiri di kota aku selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa aku harus mandiri, jangan menyusahkan orang lain dan jangan merepotkan (baca: minta tolong) orang lain jika tidak benar-benar perlu. Alhamdulillah Alloh memberkahiku dengan kemudahan dalam keseharianku sehingga boleh dibilang minta tolong menjadi sesuatu yang mulai asing buatku. Kemana-manapun aku lebih sering sendiri. Aku suka keadaan di mana aku bisa merencanakan perjalananku sendiri dan aku tak perlu menunggu dan atau mengambil keputusan yang melibatkan pertimbangan orang lain. Semua ku putuskan sendiri atas dasar keperluan dan keegoisanku.
Di Lawu, baru menginjakkan kaki di Jogja saja aku sudah merepotkan K. Pras. Orang pertama yang mewujudkan kata setujunya atas permohonanku untuk mengajakku naik gunung menjadi sebuah aksi nyata. Empat hari libur, ia yakin kami bisa menempuh pendakian Gunung Lawu lintas jalur Cemoro Sewu - Cemoro Kandang.
Gerbang Jalur Cemoro Sewu *not belong to writer |
Kami memulai pendakian pukul 20. 00 bersama 2 pendaki lain yang kebetulan registrasinya bersamaan dengan kami. Aku terkagum-kagum pada k. Pras dan 2 pendaki itu yang mau menungguiku walaupun jalanku seperti keong dan berhenti setiap 5 langkah untuk mengatur nafas. Akhirnya stlh 4 jam kami bisa sampai di Pos 2. Dengan rentang waktu yang sama dua pendaki itu sudah bisa sampai puncak. Namun mereka dengan sabar menemani setiap langkah ku yang tertatih.
Perjalanan dari Pos 2 ke Puncak lebih lama lagi. Meninggalkan Pos 2 Pukul 10.00 sampai di Puncak Pukul 18.30. Kalau pakai waktu tempuh normal sudah bisa tektok alias naik turun. Kebayang kan betapa lambatnya pace- ku, berapa banyak aku berhenti dan betapa sabarnya k. Pras menemaniku selama perjalanan ke Puncak. Duh tidak terbayang kalau aku yang ada di posisi k. Pras. Pasti aku sudah ngegerundel.
*not belong to writer |
Tapi memang Alloh mentakdirkan aku belajar tentang ego, tolong dan menunggu di Lawu.
Summit pertama di pendakian pertamaku. Khusus saat summit ini langit cerah biru membentangkan pemandangan di sekeliling Gunung Lawu |
Kami mulai meninggalkan area camp dekat puncak Pukul 09.30. Dalam perjalanan turun dari puncak ke Pos 5 kaki travelmate ku terkilir. Aku tak punya knowledge sama sekali tentang pertolongan pertama sehingga tak bisa menolong. Setelah istirahat sebentar kami lalu melanjutkan perjalanan ke Warung Mbok Yem. Di sana kami berhenti untuk mengistirahatkan kakinya dan mengurutnya dengan teknik seadanya. Perjalanan pun harus ditunda hingga 1.5 jam.
Warung Mbok Yem. Banyak pendaki datang untuk sekedar ngopi atau nge-teh. Banyak juga yang camp di depan warung dengan alasan mengurangi bawaan logistik. |
Di sana aku bertemu mbok Yem (wanita legendaris yang hidup di dekat puncak Lawu. Awet muda dan menyediakan supply makanan bagi para pendaki melalui warungnya). Di warung mbok Yem, nikmatnya segelas teh panas akan sangat sulit ditandingi oleh Chinese Tea restoran mewah. Segelas teh panasku kunikmati sambil duduk di pinggir lembah yang membentang di depan rumah Mbok Yem. Pagi itu syahdu. Langit agak mendung, kabut bergerak menyelimuti area lembah. Kadang ia hilang menyibakkan kombinasi lembah yang hijau dan hamparan hutan mati yang gersang namun tenang. Kadang ia menguasai lembah dan menyisakan kesenduan yang membuat teh panasku semakin diinginkan.
Kopi warung Mbok Yem beserta pemandangan kabut yang sesukanya naik dan turun |
Perjalanan dilanjutkan dengan keadaan kaki hikingmate-ku yang belum juga membaik. Sedang aku tak cukup kuat untuk membawa 2 keril, hikingmate- ku harus terus berjalan tertatih dengan beban berat dipunggung.
Menuju Pos 3 kami kehabisan air dan tak bisa menemukan warung seperti di jalur Cemoro Sewu yang ada di setiap pos. Kami pun terpaksa meminta-minta air pada para pendaki yang lewat saat kami kehausan. Di sini aku belajar betapa manusia tak bisa hidup sendiri. Akan ada masa di mana kita akan membutuhkan bantuan orang lain dan kita harus cukup rendah hati dan berlapang dada untuk meminta bantuan sesama.
Rintik hujan mulai menemani sejak dari Pos 3, namun kami memilih untuk terus berjalan. Dengan keadaan kaki hikingmate-ku yang semakin parah, ia tidak bisa berjalan cepat dan akupun harus mengikuti pace-nya. Kami juga tak bisa mengambil jalur yang terjal karena akan semakin menyiksa untuknya. Kami pun harus memilih jalur landai yang memutar jauh sehingga semakin memperlambat gerak kami.
Langit mendung di jalur Cemoro Kandang |
Dengan hanya berbekal biskuit kami terus berjalan dan baru sampai di Pos 2 sekitar jam 16.30. Di sana kami bertemu group hiker yang akan naik. Kami nimbrung untuk beristirahat di sana dan tentunya meminta belas kasih mereka untuk bisa berbagi minum dengan kami. Aku yang berharap hanya mendapatkan beberapa teguk saja tercengang karena mereka membiarkan kami minum dari sebuah botol cadangan air mereka dan memberikan 1 botol 375ml full kepada kami. Sebagai pendaki yang baru memulai perjalanan dan dalam group berisi 8 orang perjalanan mereka masih sangat jauh dari sumber air di pos 5. Tapi mereka justru memaksa kami untuk menerimanya. Aku pun berpikir, kalau saat itu keadaan kami ditukar apakah aku akan sudah sampai ke pemahaman mereka tentang berbagi. Aku malu tentang diriku sendiri.
Pos 2 ke Pos 1 kami semakin tertatih. Semakin sulit bertemu jalur landai. Jalur didominasi selokan kecil yang becek karena hujan dan dengan cekungan di tengahnya sehingga kami harus pilih-pilih saat memijakkan kaki. Tenaga ku sudah terkuras dan emosiku mulai tak stabil. Dalam diam rasa khawatirku tumbuh. Aku terus berdoa semoga perjalanan ini segera berakhir. Namun sepertinya jalan masih sangat panjang. Kami baru bisa mencapai Pos 1 sekitar pukul 18.00 saat adzan magrib menjelang.
Lelah, lapar, dan rasa sakit di kakiku yang mulai lecet mensuplai makanan bagi rasa khawatir yang sedang tumbuh dengan asyiknya di dada. Aku terus menyakinkan diriku untuk menghadapi situasi ini dengan kesabaran. Ku hadirkan gambaran kesabaran hikingmate- ku saat penjalanan naik. Yang tak pernah komplain tentang betapa lambatnya aku, memaklumi aku yang ngos-ngosan sepanjang waktu dan segala sikap menyebalkan lainnya. Kali ini giliranku untuk menemaninya karena perjalanan pulang ini adalah perjuangannya. Aku pun belajar tentang betapa menentramkannya menunggu dengan keikhlasan karena kita tahu setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Dan kita cukup beruntung karena kita yang terpilih untuk berada di sampingnya, menemaninya berjuang.
Melanjutkan perjalanan seusai magrib kami mendapatkan teman perjalanan baru. Seorang pendaki dari Kudus yang urung mendaki karena ternyata maagnya kambuh. Perjalanan menjadi tak sesepi tadi. Namun kondisi jalur yang basah karena hujan dan banyaknya jalur anak tangga membuat kaki hikingmateku semakin parah. Ia jatuh terduduk beberapa kali hingga akhirnya di tengah hutan Cemoro Kandang, antara waktu Magrib dan Isya yang cukup mencekam kami berada dititik terbawah kami. Kami terancam tak bisa menlanjutkan perjalanan karena temanku sudah sangat sulit berjalan. Di saat itulah 3 orang pendaki yang turun bertemu dengan kami yang memblokir jalur. Mereka berhenti dan menanyakan situasi kami. Mereka langsung berinisiatif untuk mengecek keadaan hikingmate-ku dan mengeluarkan krim urut untuk bantu memijat kaki hikingmate-ku yang terkilir. Salah satu dari mereka juga menawarkan untuk membawakan carrier hikingmateku agar dia tak perlu jalan dengan membawa beban. Di sana aku kembali terpana oleh kuasa Alloh dan kebaikan hati manusia.
Disaat paling terpuruk kami di sanalah Alloh menghadirkan bantuan dari arah yang tak terduga-duga bukan hanya untuk kaki hikingmateku tapi juga untuk meringankan beban perjuangannya. Tiga orang pahlawan itu adalah Kak Galih, Mas Ricky dan Mas Raffy. Dari Kak Galih juga kemudian kesempatanku untuk mendaki gunung-gunung yang lain muncul. Ia mengundangku untuk gabung di group whatsapp dia dan teman-teman traveling-nya. Di sanalah ku temukan traveling mates baru dan beberapa di antaranya telah tumbuh menjadi hikingmate terbaik dalam pendakian-pendakianku.
Bukan gulungan awan dan hijaunya hutan Lawu, namun kerendahan hati dan kesabaran adalah hadiah yang ditunjukkan Lawu padaku saat itu. Hal berharga yang menjadi bekalku di perjalanan-perjalanan selanjutnya.
Bersambung ke Napak Tilas #2
Sunday 18 June 2017
Saturday 20 May 2017
1
Tak usah kau tunggu kata-kata indah
Aku itu sedang berdarah, lemah, memilih menyerah pada gundah
Aku rasa hatiku patah
2
Aaah kau, sok kalah pada rasa yang selalu serakah!!!
Berhentilah menjalarkan gundah
Berpura-pura mengerti arti kata menyerah
Dan jangan bodoh
Kau tahu - Hati itu darah... iya tak patah
1
Sialan... aku ini sedang sedih
Hiburlah dengan sedikit welas asih
Bukannya menghunus-hunuskan logika
Pada rasa yang sekarat kehilangan asa
Lalu apa?? Kau mau mengistirahatkan logika
Membiarkan iya mati suri oleh asa yg memang sudah tak lagi di sana
Namun sampai kapan? Kau tahu hidup terus berjalan
Alam terus menyajikan keindahan-keindahan
1
Aaaah aku memang masih berduka
Namun Logika ......tetaplah di sana
Bantu aku melepaskan rasa yang tinggal asa
Bantu aku mencabutnya dari akar jiwa
Agar rasa baru dapat menerpa dan menggantikan asa usang yang melegenda
*pictures are not belong to me